Affandi

Kamis, 31 Januari 2013

Biografi

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang dirantai tapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.

Affandi dan melukis

Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu.

Museum Affandi

Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual.
Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.

Affandi di mata dunia

Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi Hak-Hak Azasi Manusia.
Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugrahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 sebesar Chairil Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang berjudul "Kepada Pelukis Affandi".
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris, dan Roma. Begitu juga di negara-negara benua Amerika seperti di Brasil, Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan dunia. Bahkan kurator terkenal asal Magelang, Oei Hong Djien, pernah memburu lukisan Affandi sampai ke Rio de Janeiro.

Penghargaan dan lain-lain

  • Agama: Islam
  • Istri
  1. Maryati (istri pertama)
  2. Rubiyem (istri kedua)
  • Anak
  1. Kartika Affandi
  2. Juki Affandi BSc
  3. Rukmini (adik tiri)
  • Penghargaan
  1. Piagam Anugerah Seni, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969
  2. Doktor Honoris Causa dari University of Singapore, 1974
  3. Dag Hammarskjöld, International Peace Prize (Florence, Italia, 1997)
  4. Bintang Jasa Utama, tahun 1978
  5. Julukan Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia oleh Koran International Herald Tribune
  6. Gelar Grand Maestro di Florence, Italia
  • Pameran
  1. Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)
  2. East-West Center (Honolulu, 1988)
  3. Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
  4. Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
  5. Singapore Art Museum (1994)
  6. Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
  7. Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
  8. ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
  9. Pameran keliling di berbagai kota di India.
  10. Pameran di Eropa al: London, Amsterdam, Brussels, Paris, Roma
  11. Pameran di benua Amerika al: Brazilia, Venezia, São Paulo, Amerika Serikat
  12. Pameran di Australia
  • Buku tentang Affandi
  1. Buku kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag Hammarskjöld, 1976, 189 halaman. Ditulis dalam empat bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Indonesia.
  2. Nugraha Sumaatmadja, buku tentang Affandi, Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975
  3. Ajip Rosidi, Zaini, Sudarmadji, Affandi 70 Tahun, Dewan Kesenian Jakarta, 1978. Diterbitkan dalam rangka memperingati ulang tahun ketujuh puluh.
  4. Raka Sumichan dan Umar Kayam, buku tentang Affandi, Yayasan Bina Lestari Budaya Jakarta, 1987, 222 halaman. Diterbitkan dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi, dalam dua bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Indonesia.

Lukisan Raden Saleh

Lukisan Raden Saleh

Raden Saleh ~Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
Di Perancis wawasan seni RS banyak dipengaruhi oleh gaya romantisme dari Pelukis Horace Vernet dan Gericault, dan mungkin juga tokoh romantisme terkenal Delacroix. RS mengkhususkan diri pada dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Karya-karyanya yang tidak biasa menunjukkan perpaduan nilai Jawa dan budaya Eropa. Menjadikannya sebuah aliran baru bagi pecinta seni.
Dr. Werner Kraus menyatakan, Raden Saleh adalah pelukis yang sejajar dengan pelukis ternama. Bahkan, dia memiliki kekhasan tersendiri, yakni karya lukisannya tetap tidak meninggalkan jati dirinya sebagai se orang Jawa Salah satu bukti pembenarannya ada dalam lukisan ”Banjir di Jawa”, yang teknik lukisan dan hasil lukisannya menyamai lukisan ”Raft of Medusa (Rakit Medusa)” karya Gericault. Pada lukisan itu terpancar suasana mencekam dan ekspresi orang-orang Jawa yang ketakutan akibat banjir yang menerjangnya sebagaimana ekspresi ketakutan orang-orang dalam Lukisan ”Rakit Medusa”.

Potret Sendiri Raden Saleh
Beberapa lukisan Raden Saleh yang menggambarkan perlawanan terhadap penjajahan antara lain “Perkelahian dengan Singa” dan “Gunung Merapi dan Merbabu”. Kedua lukisan itu dibuat tahun 1870 dengan gaya romantisme paradoks. Kedua lukisan itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda atas perlakuan terhadap dirinya yang semena-mena. Tanpa prosedur, ia ditangkap dan diadili oleh pemerintah kolonial Belanda karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Bekasi 1869……. Pada lukisan “Antara Hidup dan Mati” (1848) digambarkan seekor banteng besar sebagai lambang bangsa Indonesia melawan dua ekor singa jantan dan betina sebagai lambang kolonial Belanda.
Sebagai pelukis, Raden Saleh dimunculkan sebagai legenda karena kualitas lukisan-lukisannya memang istimewa. Lukisan-lukisannya mempunyai aura yang sanggup menahan keabadian (hlm 144).
Menurut Werner Kraus, jumlah lukisan yang dibuat Raden Saleh 230 buah, tetapi sekarang di dunia ini hanya tinggal 150. Sisanya kemungkinan sudah hilang, Sebagian terbakar pada 1931 dalam Pameran di Paris.”
Nasionalisme
Salah satu karyanya yang terkenal dan mengandung makna yang syarat dengan nasionalisme adalah “Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
Pengarang buku “Kuasa Ramalan”, Peter Carey menulis: ”…. Dua puluh lima tahun setelah Pieneman melukis adegan “penyerahan diri” yang heroik oleh Pangeran itu, seniman lain, kali ini seorang Jawa, Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811–1880), menghasilkan lukisan yang sangat berbeda. Dengan judul dalam bahasa Jerman “Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des Javanischen Häuptlings Diepo Negoro” (Suatu lukisan [cat minyak] bersejarah, penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro), yang diselesaikan di studio Raden Saleh di Cikini (sekarang RS Cikini) tahun 1857 dan kemudian diserahkan kepada Raja Belanda, Willem III (bertakhta 1849–1890), dengan sikap aneh yang bermakna ganda. Karya ini memperlihatkan emosi yang luar biasa. Seorang Diponegoro yang jelas tampak berang berdiri tegak di bagian tengah lukisan, baru saja menaiki tangga Wisma Residen. Dengan berusaha keras mengendalikan gejolak hatinya, tatapannya sarat dengan tekad membara. Tangan kirinya terkepal melintang di pinggang, ia merentangkan tangan kanannya untuk menghibur seorang perempuan Jawa yang menangis— mungkin istrinya, Raden Ayu Retnoningsih, di sini suatu hasil kebebasan mencipta. (Karena) Tidak ada perempuan dalam rombongan Diponegoro pada saat penahanannya. … –yang dengan penuh kepedihan merengkuh kakinya. Seperti digambarkan oleh Kraus (2005:285– 6) dengan sangat hidup, wajah De Kock dan perwira Belanda lain tampak kosong seolah-olah menatap ke kejauhan.”
Dr I Ketut Winaya, dalam disertasinya di Universitas Udayana (2007) ( dan Buku: “Lukisan Lukisan Raden Saleh, Ekspressi Anti Kolonial”; Galeri Nasional 2008) menegaskan “semangat antikolonial Raden Saleh lewat pembacaan lukisan-lukisannya ….. pada lukisan potret H.W. Daendels di latar belakang figur gubernur jenderal itu bukan hanya pemandangan tropis nan molek, melainkan juga “tampak banyak terlukis bentuk manusia… mengingatkan… bahwa gubernur jenderal ini yang memerintahkan pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer… yang banyak menelan korban rakyat.” (halaman 80)
….pada potret Bupati Majalengka, keris yang disandang di samping dengan kepala keris mengarah ke depan menyimbolkan bupati ini sedang siap berperang. Dengan lukisan ini, “seolah- olah secara terbuka ia [Raden Saleh] kembali ke Indonesia siap siaga untuk memproklamirkan perang melawan kolonialisme.” (halaman 104)
….pada lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, di antara prajurit Diponegoro ada sosok Raden Saleh sendiri. Mudah disimpulkan bahwa sang pelukis menyatakan mendukung perlawanan ini; bukankah di antara keluarganya ada yang menjadi panglima Perang Diponegoro? Dan ini, kostum Pangeran Diponegoro, “apabila diamati dengan baik, di atas dan di tengah-tengah sorbannya diketemukan warna merah dan putih.”
……. “dalam hal ini jelaslah bahwa Raden Saleh mempergunakan lambang atau simbol merah putih tersebut sebagai bentuk perlawanan dalam ekspresi lukisan-lukisan antikolonial….” (halaman 112)
Menurut Carey, bahwa selama Raden Saleh berada di Paris, ada dugaan kuat bahwa Raden Saleh membocorkan kepada Pers mengenai pengasingan Pangeran Diponegoro, dan tulisan media setempat menyebabkan Kerajaan Belanda membuat bantahan keras melalui Duta Besar Belanda di Paris.
Prestasi lain
Raden Saleh juga menjadi anggota kehormatan Perhimpunan untuk Kebun Binatang dan Tumbuh- tumbuhan di Batavia; anggota kehormatan Perhimpunan Betawi untuk Seni dan IImu Pengetahuan (Bataviaasch Gennootschap voor Kunsten en Wetenschap); dan keanggotaannya untuk Koninkijk Instituut voor de Taal, Land-en Volkenkunde di negeri Belanda; dan Natuurkundig Verreninging in Nederlandsch Indie (Perhimpunan IImu Pengetahuan Alam di Hindia Belanda). Juga menjadi konservator pada “Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni”.
Peringatan dan Penghargaan
Para Raja zaman itu menganugerahinya tanda penghargaan, yang RS sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dll.
Pada tahun 2008, sebuah kawah di planet Merkurius diberi nama dari Raden Saleh.
Penghargaan dari Pemerintah Indonesia
Pada tahun 1969 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, memberikan secara anumerta Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia.
Perhatian Pemerintah yang lain adalah, pembangunan makamnya di Bogor atas perintah Presiden Soekarno (1953) yang dilakukan oleh Ir. Silaban. Pemugaran dan perbaikan makam dilakukan pada 2008 oleh Departemen Budaya dan Pariwisata.
PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar binatang buas yang sedang berkelahi.
Pada 11 Nopember 2011 Pemerintah R.I. menganugerahkan Bintang Mahaputera Adiprana kepada RS, Satya Lencanan tertinggi yang diberikan kepada seorang warga Negara Indonesia.
Indonesia boleh berbangga karena karya salah seorang puteranya dipamerkan dalam museum museum akbar di Eropah, seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan juga dipajang di museum bergengsi Louvre, Paris, Perancis. Sayangnya beberapa lukisan Raden Saleh telah musnah didalam kebakaran Pavilyun Kolonial Belanda dalam Pameran Internasional di Paris pada 1931.
Prestasi artistiknya mengangkat prestise RS didunia Internasional, dan karenanya patut dikenang dan dihargai dengan rasa bangga.